Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan konteks, salah satunya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Model ini juga dikenal dengan nama lain seperti project based teaching, experienced based education, dan anchored instruction (Ibrahim
dan Nur, 2004). Pembelajaran ini membantu pebelajar belajar isi
akademik dan keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka
pada sistuasi masalah kehidupan nyata.
Pembelajaran
berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses
dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan (Gijselaers,
1996). Psikologi kognitif modern menyatakan bahwa belajar terjadi dari
aksi pembelajar, dan pengajaran hanya berperan dalam memfasilitasi
terjadinya aktivitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar. Pembelajar
harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar mencapai
keterampilan self directed learning.
Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah
disiapkan sebagai stimulus pembelajaran. Pembelajar dihadapkan pada
situasi pemecahan masalah, dan pembelajar hanya berperan memfasilitasi
terjadinya proses belajar dan memonitor proses pemecahan masalah.
Dalam masyarakat
pendidikan sains tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa peman sains
perlu ditingkatkan pada fungsi efektifnya dalam masyarakat demokratis
untuk memecahkan masalah-masalah seperti, keseimbangan industri dan
lingkungan, penggunaan energi nuklir, kesehatan dan lain-lain (Gallaher,
et al, 1995). Oleh karena itu pendidikan sains tidak hanya ditujukan
untuk peman konten dan proses sains, tetapi juga memi dampak sains pada
masyarakat. Menghadapkan pembelajar pada masalah-masalah nyata
sehari-hari merupakan salah satu cara mencapai tujuan ini. Allen, Duch,
dan Groh (1996) mengemukakan pertimbangan penerapan PBL dalam pendidikan
sain seperti berikut :
Kontekstual. Dalam
pembelajaran berbasis masalah pebelajar memperoleh pengetahuan ilmiah
dalam konteks dimana pengetahuan itu digunakan. Pebelajar akan
mempertahankan pengetahuannya dan menerapknanya dengan tepat bila
konsep-konsep yang mereka pelajari berkaitan dengan penerapannya. Dengan
demikian pembelajar akan menyadari makna dari pengetahuan yang mereka
pelajari.
Belajar untuk belajar (learningf to learn).
Pengetahuan ilmiah, berkembang secara eksponential, dan pebelajar perlu
belajar bagaimana belajar dan dalam waktu yang sama mempraktekkan kerja
ilmiah melalui karier mereka. Pembelajaran berbasis masalah membantu
pembelajar mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan, bagaimana
menata informasi itu kedalam kerangka konseptual yang bermakna, dan
bagaimana mengkomunikasikan informasi yang sudah tertata itu kepada
orang lain.
Doing Science. Pembelajaran
berbasis masalah menyediakan cara yang efektif untuk mengubah
pembelajaran sains abstrak ke konkrit. Dengan memperkenalkan
masalahmasalah yang relevan pada awal pembelajaran, pembelajar dapat
menarik perhatian dan minat pembelajar dan memberikan kesempatan pada
mereka untuk belajar melalui pengalaman.
Bersifat interdisiplin.
Penggunaan masalah untuk memperkenalkan konsep juga menyediakan
mekanisme alamiah untuk menunjukkan hubungan timbal balik antar mata
pelajaran. Pendekatan ini menekankan integrasi prinsip-prinsip ilmiah.
Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahim dan Nur,2004) telah mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.
- Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanyasecara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi pebelajar. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk sitausi itu.
- Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, pebelajar meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
- Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki pebelajar untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan
- Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut pebelajar untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
- Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh pebelajar yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran
berbasis masalah secara khusus melibatkan pebelajar bekerja pada
masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang dengan bantuan
asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks pembelajaran
baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu menghasilkan
perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan
dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan diperoleh dan tidak hanya
setelah membaca teks atau mendengar ceramah tentang materi subjek yang
melatar belakangi masalah tersebut. Hal inilah yang membedakan antara
PBL dan metode yang berorientasi masalah lainnya. Tutor berfungsi
sebagai pelatih kelompok yang menyediakan bantuan agar interaksi
pebelajar menjadi produktif dan membantu pebelajar mengidentifikasi
pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Hasil dari proses
pemecahan masalah itu adalah, pebelajar membangun pertanyaan-pertanyaan
(isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah? Setelah itu, pebelajar melakukan penelitian pada
isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan menggunakan
berbagai sumber. Untuk ini pebelajar disediakan waktu yang cukup untuk
belajar mandiri. Proses PBL akan menjadi lengkap bila pebelajar
melaporkan hasil penelitiannnya (apa yang dipelajari) pada pertemuan
berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk menunjukkan
hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang ada
ditangan pebelajar. Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level
pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan transfers pengetahuan
baru. Setelah melengkapi siklus pemecahan masalah ini, pebelajar akan
memulai menganalisis masalah baru, kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan.
Tujuan dan Hasil Belajar Model Pembelajaran Berbasis Masalah
1. Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah
Pembelajaran
berbasis masalah ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan
keterampilan yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990) dan Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) menguraikan cirri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut :
- tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya,
- cenderung kompleks, keseluruihan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang,
- seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian, dari pada yang tunggal,
- melibatkan pertimbangan dan interpretasi,
- melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain,
- seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas diketahui,
- melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir,
- melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur,
- berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar, besaran saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
Keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi ini dapat diajarkan (Costa, 1985).
Kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini amat
mendasarkan pada pendekatan yang serupa dengan pembelajaran berbasis
masalah ( Ibrahim dan Nur, 2004).
2) Pemodelan Peranan Orang Dewasa
Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) mengemukakan
bahwa bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap
antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih
praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di
luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah :
- PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
- PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga pebelajar secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
- PBL melibatkan pebelajar dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
3) Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran
berbasis masalah berpusat pada pebelajar. Pebelajar harus dapat
menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi
harus diperoleh, dibawah bimbingan pembelajar (Barrows, 1996).
Dengan bimbingan pembelajar yang secara berulang-ulang mendorong dan
mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan mencari penyelesaian
terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, pebelajar belajar untuk
menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).
Landasan Teoretik Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based learning (PBL).
Premis dasar dalam psikologi kognitif adalah belajar merupakan proses
konstruksi pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini.
Mengikuti Glaser (1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah
proses yang konstruktif dan bukan penerimaan. Prosesproses kognitif yang
disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan pengetahuan, dan
faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran. Berdasar
pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran
yang berkaitan dengan PBL.
Prinsip 1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan.
Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah
penuangan pengetahuan kekepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang
sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan.
Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh pebelajar
pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan
kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil(call number)
yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi
kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif.
Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan
semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada
jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya
menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana
informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil.
Prinip 2. Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran.
Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996).
Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar
seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am
I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan
pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan
konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode
pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan
metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri,
yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil
pemecahan masalah masuk akal?
Prinsip 3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran.
Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan
pebelajar untuk memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses
pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran
biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada
pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah
untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi-studi
menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan
pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa
pendidikantradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman
masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).
Jika tujuan
pembelajaran adalah mengajarkan pebelajar untuk menggunakan pengetahuan
untuk memecahkan masalah dunia nyata, bagaimana seharusnya pembelajaran
itu dilakukan? Mandl, Gruber, dan Renkl (1993) menyarankan empat cara
yaitu: pengajaran harus diletakkan dalam konteks situasi pemecahan
masalah kompleks dan bermakna; pengajaran harus dipusatkan pada
pengajaran keterampilan metakognitif dan bilamana mengunakannya;
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan harus diajarkan dari
perspektif yang berbeda dan diterapkan pada setiap situasi yang berbeda;
belajar harus berlangsung dalam situasi kerjasama untuk
mengkonfrotasikan keyakinan yang dipegang oleh masing-masing individu.
Strategi ini dilandasi oleh dua model yang saling melengkapi cognitive apprenticeship dan anchored instruction. Kedua model ini menekankan bahwa pengajaran harus terjadi dalam kontek masalah dunia nyata atau parktek-praktek professional.
Faktor
sosial juga mempengaruhi belajar individu. Glaser (1991) beralasan bahwa
dalam kerja kelompok kecil pembelajar mengekspose pandangan alternatif
adalah tantangan nyata untuk mengawali pemahaman. Dalam kelompok kecil
pembelajar akan membangkitkan metode pemecahan masalah dan pengetahuan
konseptual mereka. Mereka menyatakan ide-ide dan membagi tanggung jawab
dalam memanage situasi masalah. Bruning, Schraw, dan Ronning (1995)
menyatakan bahwa pengajaran sains sangat efektif bila hakikat sosial
pembelajaran diterima dan digunakan untuk membantu pebelajar memperoleh
peman ilmiah secara akurat.
Bertolak
dari prisnip-prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran berbasis masalah
dapat ditelusuri melalui tiga aliran pemikiran pendidikan yaitu: Dewey
dan Kelas Demokratis: Konstruktivisme Viaget dan Vygotsky, Belajar
Penemuan Bruner (Ibrahim dan Nur, 2004).
Dewey dan Pembelajaran Demokratis
Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim & Nur, 2004). Dalam
demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan pandangan bahwa sekolah
seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan
laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik
Dewey menganjurkan pembelajar untuk mendorong pebelajar terlibat dalam
proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki
masalahmasalah intelektual dan sosial. Dewey juga menyatakan bahwa
pembelajaran disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada
abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan
oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek
yang menarik dan pilihan mereka sendiri.
Konstrukivisme Piaget dan Vygotsky
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan konstruktivis kognitif (Ibrahim dan Nur, 2004). Pandangan
ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa pebelajar
dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan
informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget
pengetahuan adalah konstruksi(bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang
(Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi
terus berevolusi. Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa
perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan
pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2004).
Untuk memperoleh pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan awal yang telah dimiliki. Piaget memandang bahwa tahap-tahap
perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks
sosial dan budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat
lebih pada aspek sosial pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial
dengan orang lain mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya
perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky
dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi
sosial dengan pembelajar dan teman sejawat. Melalui tantangan dan
bantuan dari pembelajar atau teman sejawat yang lebih mampu, pebelajar
bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran
baru terjadi(Ibrahim dan Nur, 2004).
Bruner dan Belajar Penemuan
Bruner
adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar
kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang
sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang
lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan pengetahuan
yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna ( Dahar, 1998).
Bruner menyarankan agar pebelajar hendaknya belajar melalui partisipasi
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka
dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan
didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan
pribadi.
Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran
Berbasis Masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai
dari pembelajar memperkenalkan pebelajar dengan suatu situasi masalah
dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja pebelajar. Secara
singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah seperti pada Tabel 1
berikut.
Tahap Tingkah Laku Pembelajar
Tahap 1
Orientasi pebelajar pada masalah
- Pembelajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi pebelajar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Pembelajar mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/hasil karya pebelajar
Tahap 2
Mengorganisasikan pebelajar untuk belajar
- Pembelajar membantu pebelajar mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
- Pembelajar mendorong pebelajar untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
- Pembelajar membantu pebelajar dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
- Pembelajar membantu pebelajar untuk melakukan efleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Asesmen Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Tugas-tugas asesmen untuk PBL tidak dapat semata-mata terdidri dari tes kertas dan pensil (pencil and paper test).
Kebanyakan teknik asesmen dan evaluasi yang digunakan untuk PBL adalah
menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh pebelajar sebagai hasil
penyelidikan/hasil kerja mereka. Seperti pada model pembelajaran
kontekstual lainnya, bentuk asesmen PBL terdiri dari asesmen kinerja dan
portofolio. Berbeda dengan penilaian tradisional (paper dan pencil test).
Penetapan kriteria penilaian tugas-tugas kinerja/ hasil karya harus
dilakukan pada awal-awal pembelajaran dan harus dapat dikerjakan oleh
pebelajar (Fottrell, 1996). Kriteria penilaian itu harus didiskusikan
terlebih dahulu bersama pebelajar di kelas. Diskusi ini meliputi berapa grade yang harus mereka capai dan siapa yang akan menilai mereka (pembelajar, pebelajar, atau ahli luar).
Dikutip dari Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
Penyelenggara Sertifikasi Guru Rayon 24
Universitas Negeri Makassar
Penyelenggara Sertifikasi Guru Rayon 24
Universitas Negeri Makassar