Akankah Ilmu Pengetahuan Mengesampingkan Keberadaan Tuhan?
Akankah Ilmu Pengetahuan Mengesampingkan Keberadaan Tuhan?
Oleh Natalie Wolchover | LiveScience.com
Selama beberapa abad
terakhir, ilmu pengetahuan dapat dikatakan telah menjauhkan orang dari
pemikiran tradisional tentang kepercayaan terhadap Tuhan secara
bertahap. Hal-hal yang dulu tampak misterius, seperti keberadaan
manusia, kesempurnaan kehidupan di bumi, cara kerja alam semesta,
sekarang dapat dijelaskan oleh ilmu biologi, astronomi, fisika dan ilmu
pengetahuan lainnya.
Meski masih banyak misteri alam semesta yang
belum terungkap, Sean Carroll, seorang kosmolog teoritis dari
California Institute of Technology, mengatakan bahwa ada alasan yang
cukup baik untuk berpikir bahwa ilmu pengetahuan pada akhirnya akan
mengungkap secara lengkap tentang alam semesta — yang juga akan
menjelaskan keberadaan Tuhan.
Carroll berpendapat, teori
keberadaan Tuhan telah berkurang drastis di zaman modern, seperti
misalnya, fisika dan kosmologi telah berkembang dalam menjelaskan
asal-usul dan evolusi alam semesta. "Ketika kita mempelajari lebih dalam
tentang alam semesta, selalu ada rasa haus untuk lebih dalam
menelitinya," katanya kepada Life’s Little Mysteries.
Ia
berpendapat bahwa pengaruh supranatural pada akhirnya akan menyusut dan
menghilang. Tapi dapatkah ilmu pengetahuan pada akhirnya menjelaskan
semuanya?
Permulaan waktu
Sekumpulan bukti
telah dikumpulkan untuk mendukung model kosmologi Big Bang, atau gagasan
yang menjelaskan bahwa alam semesta mengembang dari keadaan panas,
kemudian memadat hingga akhirnya ke kondisi seperti saat ini yang lebih
dingin, lebih berkembang dan membesar selama 13,7 miliar tahun. Para
kosmolog dapat membuat model tentang apa yang terjadi dari 10^-43 detik
setelah Big Bang terjadi sampai sekarang, namun dalam sepersekian detik
sebelum menjadi gelap.
Beberapa teolog telah mencoba untuk
mengaitkan teori Big Bang dengan deskripsi penciptaan dunia yang dapat
ditemukan dalam Alkitab dan teks-teks agama lainnya. Mereka berpendapat
bahwa sesuatu (yaitu, Tuhan) pasti telah merencanakan peledakan alam
semesta tersebut.
Namun, menurut Carroll, kemajuan dalam ilmu kosmologi akhirnya akan menghilangkan siapa pemicu teori Big Bang tersebut.
Seperti
yang ia jelaskan dalam sebuah artikel yang ditulis baru-baru ini yang
berjudul “Blackwell Companion to Science and Christianity”
(Wiley-Blackwell, 2012), bahwa tujuan utama dari ilmu fisika adalah
untuk membuat teori yang menjelaskan tentang seluruh alam semesta, mulai
dari skala sub-atomik hingga astronomik, dalam satu kerangka kerja.
Teori
seperti itu disebut “gravitasi kuantum,” yang akan menjelaskan tentang
apa yang terjadi pada saat Big Bang terjadi. Beberapa versi lain teori
gravitasi kuantum yang telah dibuat oleh para ahli kosmologi lebih
menjelaskan pada prediksi Big Bang, daripada penjelasan tentang
permulaan waktu yang Carrol sebut sebagai “sebuah tahap transisi dalam
keberadaan alam semesta yang kekal.”
Contohnya seperti, sebuah
model yang dianalogikan seperti sebuah balon yang kembang kempis di
dalam uap. Jika, kenyataannya, waktu tidak punya permulaan, maka hal itu
akan mengakhiri kitab Kejadian.
Versi lain teori gravitasi
kuantum, saat ini sedang didalami oleh para ahli kosmologi yang
memprediksi bahwa waktu memang dimulai dari kejadian Big Bang. Namun
versi kejadian tersebut tidak melibatkan peran Tuhan. Mereka tidak hanya
menggambarkan evolusi alam semesta sejak kejadian Big Bang, tetapi
mereka juga menjelaskan bagaimana waktu bisa berlangsung di tempat yang
paling awal.
Dengan demikian, teori-teori gravitasi kuantum
masih perlu disempurnakan, untuk menjelaskan sejarah alam semesta.
"Tidak ada fakta yang menjelaskan bahwa ada permulaan waktu, dengan kata
lain, harus ada campur tangan dari faktor lain dalam penciptaan alam
semesta pada saat itu," tulis Carroll.
Cara lain untuk
menempatkan itu adalah dengan teori-teori fisika kontemporer, meskipun
masih dalam pengembangan dan pengujian eksperimental di masa depan, yang
akhirnya mampu menjelaskan mengapa Big Bang terjadi, tanpa perlu untuk
melibatkan teori supranatural.
Seperti Alex Filippenko,
astrofisikawan dari University of California, Berkeley, mengatakan dalam
pidatonya di sebuah konferensi sebelumnya pada tahun ini, "Big Bang
bisa saja terjadi sebagai akibat dari hukum fisika. Dengan hukum fisika,
Anda bisa mengetahui alam semesta."
Alam semesta paralelNamun
ada alasan lain yang berdasar tentang keberadaan Tuhan. Fisikawan telah
mengamati bahwa banyak dari konstanta fisika yang menjelaskan tentang
alam semesta kita, dari massa elektron hingga kepadatan energi gelap,
yang sangat sempurna untuk mendukung kehidupan.
Mengubah salah
satu konstanta sedikit saja, maka alam semesta tidak akan dipahami.
"Misalnya, jika massa neutron yang sedikit lebih besar (dibandingkan
dengan massa proton) dari nilai sebenarnya, hidrogen tidak akan melebur
menjadi deuterium dan bintang konvensional tidak mungkin ada," kata
Carroll. Dan dengan demikian, maka akan muncul kehidupan seperti yang
kita kenal sekarang.
Para teolog sering mengembangkan atas apa
yang disebut "fine tuning" dari konstanta fisika sebagai bukti bahwa
Tuhan pasti punya andil di dalamnya, tampaknya ia memilih konstanta
tersebut untuk kita. Namun fisika kontemporer menjelaskan bahwa
supranatural punya caranya sendiri.
Beberapa versi teori
gravitasi kuantum, termasuk teori string, memperkirakan bahwa kehidupan
kita di alam semesta ini hanyalah salah satu dari jumlah yang tak
terbatas dari alam semesta akhirnya membentuk banyak alam semesta. Di
antara alam semesta yang tak terbatas itu, berbagai macam nilai dari
semua konstanta fisika yang diwakili, dan hanya beberapa alam semesta
yang memiliki nilai konstanta yang memungkinkan pembentukan bintang,
planet dan kehidupan seperti yang kita kenal sekarang. Kita beruntung
dapat hidup di salah satu alam semesta yang dapat ditinggali (karena di
mana lagi?).
Beberapa teolog mengatakan bahwa akan jauh lebih
sederhana untuk menyebut campur tangan Tuhan daripada mencari tahu
teori keberadaan alam semesta yang tak terhingga banyaknya untuk
menjelaskan bagaimana alam semesta memberikan kehidupan bagi kita.
Carroll mengatakan bahwa multiverse tidak didalilkan sebagai cara yang
rumit untuk menjelaskan fine-tuning. Sebaliknya, hal tersebut berperan
sebagai konsekuensi alami dari yang terbaik, teori yang paling elegan.
Sekali
lagi, jika atau ketika teori itu terbukti benar, "multiverse (multi
alam semesta/multi universe) terjadi, tidak peduli apakah Anda suka atau
tidak," tulisnya. Dan ada campur tangan Tuhan dalam segala sesuatu.
Alasan
Tuhan
berperan sebagai alasan keberadaan alam semesta. Bahkan jika kosmolog
berhasil menjelaskan bagaimana alam semesta terbentuk, dan mengapa
tampak seperti dibuat untuk menyokong kehidupan, pertanyaan yang mungkin
akan tersisa adalah mengapa ada sesuatu yang bertentangan dengan segala
sesuatu.
Bagi kebanyakan orang, jawaban atas pertanyaan
tersebut adalah Tuhan. Menurut Carroll, jawaban itu berarti jika di
bawah pengawasan. Tidak akan ada jawaban untuk pertanyaan seperti itu,
katanya.
"Kebanyakan ilmuwan ... menduga bahwa pencarian
penjelasan yang tepat akhirnya akan berakhir dengan teori berakhirnya
dunia, bersama dengan frase 'memang seperti itu,'" tulis Carroll. Orang
yang tidak puas cenderung gagal untuk menemukan bahwa seluruh alam
semesta merupakan sesuatu yang unik — "sesuatu yang yang berbeda dari
biasanya."
Sebuah teori ilmiah lengkap yang bertanggung jawab
atas segala sesuatu di alam semesta yang tidak perlu penjelasan
eksternal dengan cara yang sama, bahwa segala sesuatu yang spesifik
dalam alam semesta memerlukan penjelasan eksternal. Bahkan, Carroll
berpendapat, penjelasan yang menutup penjelasan lainnya (contohnya
Tuhan) pada sebuah teori mandiri dari segala sesuatu yang hanya akan
menjadi komplikasi yang tidak perlu. (Teori tersebut sudah bekerja tanpa
Tuhan.)
Dinilai berdasarkan standar dari setiap teori ilmiah
lainnya, "hipotesis Tuhan" tidak bekerja dengan sangat baik, Carroll
berpendapat. Namun ia memberikan gagasan bahwa "teori tentang Tuhan
memiliki fungsi lain dibandingkan suatu hipotesis ilmiah."
Penelitian
psikologi menunjukkan bahwa kepercayaan dalam supranatural, berperan
sebagai perekat sosial dan memotivasi orang untuk mengikuti aturan.
Lebih lanjut, kepercayaan akan akhirat membantu manusia untuk berduka
dan mencegah orang dari ketakutan akan kematian.
"Kita tidak
dirancang pada tingkat teori fisika," kata Daniel Kruger, seorang
psikolog evolusi di University of Michigan, yang mengatakan kepada
LiveScience tahun lalu. Apa yang penting bagi kebanyakan orang "adalah
apa yang terjadi pada skala manusia, hubungan dengan orang lain, hal-hal
yang kita alami dalam hidup kita."
dikutip dari : http://id.berita.yahoo.com/akankah-ilmu-pengetahuan-mengesampingkan-keberadaan-tuhan.html
Markus Maubuthy
Author & Editor
...........................................................................................